Barcelona harus berterima kasih kepada Johan Cruyff atas sukses mereka beberapa tahun terakhir.
Inilah bagian ketujuh dari ekstrak buku terbaru Graham Hunter, Barca:
The Making of the Greatest Team in the World, yang menceritakan tentang
bagaimana sukses Barcelona saat ini dibangun oleh seseorang bernama Johan
Cruyff.
Tanpa dia, tidak akan
ada Pep Guardiola, tidak ada Lionel Messi, tidak ada Xavi maupun Andres
Iniesta. Mereka akan dinilai terlalu lambat, terlalu kecil – seperti para pemain
sepakbola meja.
Si jenius dari Amsterdam menciptakan kondisi yang memungkinkan para
pemain yang luar biasa ini diakui dan menjadi pusat dari nilai-nilai FC
Barcelona. Tanpa Cruyff, cerita ini tidak akan pernah ada.
Bahkan era terbaru dan terbesar Barcelona memiliki DNA yang berjalan
sesuai dengan caranya, yaitu cara berlatih dan bermain, bagaimana merekrut
pemain dan staf, serta kenapa hiburan hanya berada sedikit di belakang
kemenangan dalam daftar prioritas mereka.
Dua kali membuat kejutan di Camp No. Pertama, pada 1974, ketika
Barcelona membuatnya menjadi pemain berharga US$1 juta pertama. Kedua, pada
1988, ketika dia kembali sebagai pelatih dengan keberhasilan yang belum pernah
terjadi sebelumnya, seperti sering memenangkan liga pada detik-detik terakhir
penutupan musim dan biasanya membuat malu Real Madrid, sang Goliath yang
menjadi rival pasukan David milik Cruyff. Empat trofi kejuaraan UEFA, termasuk
yang paling penting ketika menekuk Sampdoria, yang mempunyai pemain bintang
sekaliber Luca Vialli dan Roberto Mancini, untuk memenangkan Piala Eropa
(sekarang bernama Liga Champions) pada 1992, sekaligus yang pertama untuk
Barcelona.
Dari pemain menjadi pelatih menjadi penasihat | Cruyff, legenda Barca dengan tiga peran
Tidak ada Cruyff, tidak ada tim impian. Tidak
ada Cruyff, tidak akan ada pembinaan cantera (pemain muda) yang berlatih dan
memainkan sepakbola menghibur. Tidak ada Cruyff, tidak ada Juan Laporta
(presiden klub paling sukses). Tidak ada Cruyff, tidak ada Frank Rijkaard dan
pertolongan pada klub yang mulai "mati lemas" akibat kebodohan
sendiri. Tidak ada Cruyff, tidak ada Guardiola. Pemain yang beralih menjadi
pelatih ini bahkan takkan mendapat kesempatan bermain di tim utama kalau bukan pertaruhan
serta visi pelatih Belanda dan tangan kanannya, Charly Rexach.
FC Barcelona dipenuhi murid-murid Cruyff di setiap tataran pembinaan,
pengembangan, dan administrasi. Guardiola, Andoni Zubizarreta, Guillermo Amor,
Eusebio Sacristan, Juan Carlos Unzue, Oscar Garcia, Tito Vilanova, dan Rexach
adalah beberapa contohnya. Selain itu, Sergi Barjuan pergi meninggalkan klub
pada Juli 2011.
Jangan salah, dunia masih menyaksikan hasil benih yang ditanamnya pada
1988 silam. Ketika Cruyff kembali sebagai pelatih, pada dasarnya dia tidak
setuju dengan cara Barcelona mengelola pembinaan pemain muda. Dia bersikeras
bahwa tidak masuk akal kalau semua tim kategori umur dilatih sesuai sistem yang
diterapkan pelatih masing-masing. Itu bukan metode FC Barcelona. Ketika itu, ada
13 level kelompok usia dengan setiap pelatih sehingga artinya mereka bisa
bermain dengan 13 gaya yang berbeda-beda dan anak-anak harus kembali
mengulanginya setiap tahun.
Cruyff mengatakan kepada petinggi klub: a) setiap tingkat pemain muda
harus dilatih berdasarkan konsep yang sama dan dalam formasi yang sama yaitu
3-4-3; b) anak-anak berbakat harus didorong dari zona nyaman mereka dan bermain
di kelompok umur satu atau bahkan dua tingkat di atas mereka; dan c) para
"mutiara akademi", atau "perlas de la cantera", perlu
dipromosikan ke tim utama.
Mereka menerapkan sistem posisi bermain dengan satu, atau paling banyak dua, sentuhan peredaran bola, konsep sweeper-keeper, mempersempit ruang, semua prinsip yang berkembang di bawah kepelatihan Guardiola dan Rijkaard. Strategi ini, ditambah semua pemain yang bermain menyerang, kreatif, sepakbola cepat yang menekan dan umpan-uman akurat, adalah warisannya yang abadi.
Cruyff membentuk kembali struktur dan isi pembinaan pemain muda FC
Barcelona dan beberapa alumni, yang meraih trofi Liga Champions di bawah Rijkaard
dan Guardiola, sudah berada di dalam sistem cantera yang dirintis ulang oleh
Cruyff ketika secara kontroversial dia dipecat di ruang ganti saat siap
berlatih pada Sabtu, 18 Mei 1996.
Tanpa Cruyff, tidak akan ada Pep Guardiola, tidak ada Lionel Messi, tidak ada Xavi maupun Andres Iniesta. Mereka akan dinilai terlalu lambat, terlalu kecil – seperti para pemain sepakbola meja |
Pada hari itu, Xavi
Hernandez yang berumur 16 tahun adalah bagian dari sistem pembinaan pemain muda
barca dan sudah lima tahun berlatih di La Masia. Andres Iniesta sedang dipantau. Victor Valdes sudah
empat tahun di dalam sistem pembinaan Camp Nou dan seorang pemain 17 tahun
bernama Carles Puyol baru saja dipantau dan menandatangani kontrak untuk
bermain sebagai sayap.
Sistem Cruyff tidak hanya membuat pemain berlatih dengan baik ketika
terpilih, tetapi juga mampu mengubah kriteria dalam pemantauan bakat Barcelona.
Hasilnya, sekarang klub lebih konsisten dalam memilih pemain muda terbaik, atau
tepatnya yang paling sesuai dengan filosofi mereka, yang suatu hari akan
menjadi tulang punggung dari sebuah tim terhebat di dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar